Masalah Kehidupan
Oleh Karlina
Sudah
hampir empat jam Pak Ahmad duduk di atas ranjangnya berdiam diri seperti sedang
memikirkan sesuatu, suara istrinya yang sejak dari tadi memanggilnya tak
dihiraukan, dia terhanyut dalam pikirannya sendiri. Ada sesuatu beban yang
tampak jelas dari wajah Pak Ahmad, stres dan prustasi seakan siap hinggap ke
pikiran Pak Ahmad, sedangkan pikiran jahat telah menari-nari senang dihadapan
Pak Ahmad, tapi pikiran baik datang seakan dia tidak terima melihat kejadian ini,
melihat pikiran jahat yang begitu sukacitanya terhadap peristiwa ini, akhirnya
pikiran baik dan jahat berperang begitu hebatnya, tak tahu siapa yang akan
memenangkan perang ini. Akhirnya, Pak Ahmad berdiri dan duduk kembali. Dia
kembali berkonsentrasi, dia tidak mau menjadi stres akibat memikirkan masalah
ini.
“Walah, bisa eddan aku kalau kayak gini. Harga-harga semakin naik, si bungsu Tole sudah lulus
SMP dan mau melanjutkan ke SMA, baju seragam dan alat-alat sekolah belum beli.
Sedangkan, mbaknya si Ajeng juga baru
lulus SMA dan mau melanjutkan ke Universitas yang biayanya wuwalah mantap
mahalnya. Duh… Gusti Allah tolonglah hambamu ini”.
Dari
balik pintu kamar ternyata istri Pak Ahmad memperhatikan dan mendengar keluh
kesah suaminya itu, tanpa disadari Pak Ahmad istrinya masuk ke kamar.
“Ada apa toh
pak? Ibu perhatikan dari tadi bapak seperti orang eddan saja, bicara sendirian. Ada masalah apa? Mbok, cerita sama ibu!”.
Pak Ahmad kaget
mendengar suara istrinya dan dia langsung menoleh ke arah istrinya itu.
“Eh ibu, kaget
bapak bu, ini loh bu, harga
barang-barang kebutuhan rumah tangga, semakin naik saja. Padahal, pemerintah
baru berencana bahwa gaji Pegawai Negeri Sipil akan naik. Tapi kok, harga-harga
yang duluan naik”.
“Wuwalah masalah
itu toh, yang membikin suami ibu gila hari ini! Mbok jangan terlalu dipikirkan
pak! Memang begitulah Negara kita”.
“Begini toh bu, bapak
itu memikirkan nasib anak-anak kita. Tole tahun ini masuk ke SMA sedangkan mbaknya, si Ajeng mau masuk ke
Universitas. Uang darimana bu? Mana hutang kita ke Bank kemaren saja belum
lunas untuk biaya ganti rugi karena Tole kebut-kebutan
di jalan raya akibatnya menabrak mobil mewah orang yang sedang terparkir.
Itulah bagaimana ini, apa bapak mesti korupsi atau mencuri biar dapat uang?”.
“Astafirullahhalazim pak, sabar pak,
ngucap… apa yang telah bapak katakan! Allah tidak tidur…”.
“Jadi, gimana toh buk???”.
“Jual saja mas
kawin kita”.
“Jangan toh buk,
mas kawin itu banyak kenang-kenangannya”.
“ya, mau gimana
lagi? Nanti kalau sudah ada uang bapak ganti lagi”.
“Ya, kalau ada
uang untuk menggantinya, kalau tidak ada gimana? Ayo…?”.
“Ya, sudah kalau
tidak ada, tidak bisa diganti, ya tidak apa-apa, lagian itu kan untuk
kepentingan anak-anak kita juga, kalau ada diganti, kalau tidak ada ya, sudah
tidak usah diganti. Ikhlas ibu, pak…”
“Sebaiknya kita
cari jalan yang lain dulu bu, siapa tahu ada jalan keluarnya, kalau harus
menjualkan mas kawin kita, bapak yang malahan tidak ikhlas”.
“Ya, terserah
bapaklah, bagaimana bagusnya, jangan saja bapak mempunyai pikiran yang jahat
seperti pikiran bapak tadi, mau mencuri atau korupsilah. Nah, kalau yang satu
ini ibu sangat-sangat tidak ikhlas dunia dan akherat”.
“Ya, Insya Allah tidaklah bu”.
“Ya, sudah
sekarang bapak makan dulu, dari pagi tadi bapak belum makan apa-apa. Nanti
bapak sakit loh”.
“Oh iya bu,
bapak lupa karena terlalu banyak pikiran. Ayo bu, kita makan dulu, eh eh.. mana
si Ajeng dan Tole ya bu? Kok dari tadi bapak tidak melihat mereka ya…”.
“Oh…kalau si
Tole main pak sama teman-temannya biasa anak laki-laki”.
“Hmmm… Tole-Tole
jangan saja kamu membuat ulah lagi! Lalu Ajeng, kemana bu?”.
“Semoga tidak
lagi pak, Tole membuat ulah. Kalau si Ajeng sudah dari tadi pagi pergi katanya
si mau ke sekolah”.
“Hari minggu kok
sekolah?”.
“Iya, katanya
sih disuruh ke sekolah oleh gurunya”.
“Lha, perasaan
tadi bapak mendengar Shinta kemari ya bu? Apa dia tidak sekolah? Biasanya Ajeng
dan Shinta selalu pergi bareng ke sekolah”.
“Iya, pak memang
tadi Shinta kemari, mengantarkan sayur yang ibu pesan ke mamanya. Kata Ajeng si
memang tidak seluruh siswa yang disuruh datang ke sekolah, hanya beberapa siswa
saja, tidak tahu ada apa ya pak kok, Ajeng disuruh ke Sekolah ya? Padahalkan
pengumuman kelulusan sudah diumumkan tiga hari yang lalu, jangan-jangan nilai
Ajeng hancur pak!”.
“Eh eh eh…
jangan berpikiran yang tidak-tidak bu!”
“Ya, gimana pak.
Kok hanya beberapa siswa saja yang disuruh ke sekolah, kalau tidak ada masalah
atau nilai anak kita itu hancur lantas apa?”.
“Ya, berpikirlah
positif bu! Jangan berpikiran yang bukan-bukan, tidak bagus bu!”.
“Iya pak semoga
tidak terjadi hal-hal yang kita takutkan ya, pak”.
“Iya, amien bu…
begitu dong jangan berpikiran hal yang tidak-tidak. Ngomong-ngomong makanannya
sudah siap belum? Lapar bapak bu”.
“Oh, iya pak
lupa ibu pak, kita kan mau makan tadi, ayo pak kita makan”.
Keduanya pun
pergi menuju meja makan.
Sore harinya, seperti biasa Pak
Ahmad menyiram tanaman yang berada di halaman rumahnya. Hal ini rutin
dilakukannya setiap sorenya, menata taman merupakan hobi Pak Ahmad tak heran
jika tanaman di perkarangan rumahnya sangat tertata rapi. Sambil menyemprot air
ke tanaman, Pak Ahmad masih memikirkan masalahnya, sehingga Pak Ahmad tidak
menyadari dan tidak mendengarkan suara tamu yang mengucap salam dari luar pagar
rumah.
“Assalamualaikum, Assalamualaikum….pak,
pak Assalamualaikum”.
Suara tamu
tesebut tidak didengar oleh Pak Ahmad, dia masih sibuk menyiram tanaman.
“Assalamualaikum,
Assalamualaikum, Assalamualaikum…. pak, pak Assalamualaikum”.
Tamu tersebut
akhirnya menaikkan volume suaranya, berharap Pak Ahmad mendengarkan. Tapi,
masih saja suara tamu itu tidak didengarkan oleh Pak Ahmad. Tamu tersebut pun
mulai bingung, mencari ide bagaimana suaranya bisa didengar oleh Pak Ahmad.
Akhirnya tamu tersebut mengulang kembali mengucap salam dengan volume suara
yang tinggi.
“Assalamualaikum,
Assalamualaikum, Assalamualaikum…. pak, pak Assalamualaikum”.
Tapi, yang
mendengarkan salam tersebut bukannya Pak Ahmad, melainkan istrinya yang sedang
memasak di dapur karena mendengar salam tersebut istrinya pun segera menuju ke
halaman rumah.
“Walaikumsalam Warahmatullah Hiwabarakatu…”.
Istrinya Pun
menghampiri Pak Ahmad yang dari tadi masih sibuk menyiram tanaman yang tanpa
sadar bahwa ada tamu yang sudah dari tadi berdiri di depan pintu pagar
rumahnya.
“Pak, bapak”.
Pak Ahmad masih
diam, akhirnya ibu menepuk bahu bapak dengan perlahan.
“Pak, bapak ada
tamu”
Pak Ahmad
menoleh kearah istrinya, istrinya tersenyum sanbil menunjuk kearah luar pagar.
Tanpak disana seorang laki-laki mudah kira-kira berusia sekitar 25 tahunan.
“Tuh… ada tamu
pak”.
“Sudah lama apa
bu tamunya berdiri disitu?”
Pak Ahmad yang
baru saja menyadari ada tamu, menafsirkan bahwa tamu tersebut sudah lama
berdiri disitu karena dia tidak mengetahui dari tadi bahwa ada tamu, malahan
yang mengetahaui hal tersebut istrinya yang berada di dapur. Jadi tidak mungkin
istrinya tahu duluan, seharusnya dia yang tahu duluan kalau ada tamu, tapi
berhubung dia sibuk dengan pikirannya sendiri akhirnya dia tidak mendengar
kalau sudah dari tadi tamu berdiri disitu.
“Sudah lumayan
lama, pak”.
Istrinya pun
menuju ke arah pintu pagar dan membukakan pintu untuk tamu tersebut.
“Masuk dik, maaf
sudah lama berdiri di situ, maklum bapak lagi melamun, banyak pikiran”
Tamu tersebut
pun masuk ke halaman rumah dan menyalami tangan ibu. ibu pun membalasnya dengan
senyuman. Laki-laki tersebut berjalan menuju Pak Ahmad sementara istrinya Pak
Ahmad menutup kembali pintu pagar rumah.
“Maaf ya…”
“Oh, tidak
apa-apa, pak”
“Silahkan masuk,
kalau begitu. Bu bikinin teh untuk tamu kita!”.
“Iya, pak”
Mereka bertiga
pun masuk ke dalam rumah, Pak Ahmad mempersilahkan tamunya untuk duduk,
sementara istrinya pergi ke dapur untuk mebuatkan teh untuk tamunya.
“Ada apa ya nak?
ada keperluan apa? Apa yang bisa saya bantu?”.
“Begini pak, perkenalkan
nama saya Candra, saya datang kemari ingin membicarakan masalah kecelakaan
minggu lalu. Kecelakaan yang menabrak mobil mewah”.
Pak Ahmad tambah
bingung, dia berkata dalam hatinya “apakah orang ini mau minta ganti rugi atas
kecelakaan itu, tapi orang ini bukan pemilik mobil mewah tersebut atau selain
mobil mewah yang ditabrak Tole ada juga yang Tole tabrak selain mobil terebut”.
Pikiran Pak Ahmad bertambah menjadi runyam.
“Ekhem… pak,
bapak”
Tamu itu
menyadarkan Pak Ahmad dalam lamunannya. Pak Ahmad pun tergagap kaget.
“Eh.. eee, iya
ya. Lalu bagaimana nak Candra, apakah nak Candra datang kemari juga mau minta
ganti rugi atas kejadian itu?”.
Mendengar
perkataan Pak Ahmad, Candra malah tersenyum. Hal itu malah membuat Pak Ahmad
tambah bingung.
“Saya masih
belum paham maksud nak Candra? Ehhh kalau boleh tahu maksud nak Candra itu apa?”.
“Begini, maksud
saya datang ke mari sebetulnya mau menemui Tole anak bapak, karena dia telah
menyelamatkan nyawa saya”.
“Maksud, nak
Candra???”
“Begini,
sebetulnya kecelakaan itu diakibatkan oleh saya sendiri”.
“Maksudnya apa
ini? Kenapa saya tambah tidak mengerti?”.
“Ya, sebetulnya
kecelakaan itu diakibatkan oleh saya sendiri, sebetulnya saya ini baru belajar
menyetir mobil dan mobil yang saya kendarai mobilnya agak sedikit ada ganggun.
Jadi saya belum pandai dalam mengendarai mobil. Ketika mobil yang saya kendarai
berlalu di jalan raya. Remnya tidak berfungsi sehingga mobil itu idak dapat
berhenti. Karena gugup dan takut saat mengendarai mobil tesebut, akhirnya saya
tidak bisa mengendalikan mobil tersebut dan pada saat itu saya telah berada di
jalur yang salah. Saya berusaha menghentikan mobil tersebut tapi tetap tidak bisa.
Pas di persimpangan jalan Tole datang dari arah tersebut dan langsung kaget
ketika melihat mobil saya yang seharusnya tidak berada di jalur itu, karena
tidak mau menabrak mobil saya akhirnya tole menyimpangkan motornya secara
mendadak dan akhirnya dia menabrak mobil mewah yang sedang terparikir,
sedangkan mobil saya akhirnya menabrak pohon yang tidak jauh dari tempat
kejadian itu, tapi untunglah saya tidak apa-apa hanya mobil saya saja yang
lecet-lecet. Jadi maksud kedatangan saya kemari, saya mau mengucapkan
terimakasih kepada Tole sekaligus minta maaf yang sebesar-besarnya kepada
keluarga bapak dan saya akan mengganti rugi atas biaya yang bapak keluarkan
gara-gara kejadian ini.
“Oh walah…
begitu ceritanya. Ya, telah kami maafkan”.
“Oh, iya Tolenya
mana pak?”
“Oh, Tolenya
lagi main sama teman-temanya. Ya nanti saya sampaikan sama Tole”.
“Oh, iya tolong
ya pak. Terimakasih sebelumnya, ini pak uangnya silahkan bapak hitung uangnya.
Mungkin uangnya kurang silahkan bapak katakan jangn sungkan-sungkan. Ya, karena
saya sangat merasa bersalah sekali atas kejadian ini”.
Candra
menyerahkan sebuah amplop yang berisi uang kepada Pak Ahmad, Pak Ahmad pun
menerimanya dengan senang hati. Kini wajah suram dan kusam tidak terlihat lagi
di wajah Pak Ahmad, sekarang tampak wajah bahagia dan senyum ceria menghiasi
wajah Pak Ahmad.
“Saya atas nama
keluarga saya, mengucapkan banyak terimakasih kepada nak Candra karena nak
Candra telah membebaskan keluarga ini dari krisis hidup”
Mendengar perkataan
Pak Ahmad, Candra sedikit agak bingung karena tidak mengerti maksud perkataan
Pak Ahmad tersebut, tapi masih Candra membalasnya dengan senyuman.
“Kalau begitu,
saya mohon pamit dulu ya… pak karena hari sudah sore sekali”
“Oh tidak minum
dulu, tadi ibu sudah membuat minuman tapi, kok lama sekali ya bikinnya?”.
“Oh, tidak usah
pak, lain kali saja minum tehnya. Besok-besok Insya Allah saya berkunjung
kemabali kesni”.
“Oh bener ya nak
Candra, jangan tidak loh!”.
“Insya Allah,
mari Pak saya pamit dulu, sampaikan permintaan maaf saya kepada ibu karena
pulang tidak pamit lagi sama beliau dan tidak lupa salam buat Tole ya pak”.
“Iya, nanti
disampaikan. Hati-hati di Jalan ya… membawa mobil apa???”
“Hehehe… tidak
pak, saya membawa motor. Mari pak saya pamit dulu”.
“Iya, ya
hati-hati di jalan ya…”
“Iya, pak
terimakasih”.
Candra menyalami
Pak Ahmad untuk berpamitan pulang, Pak Ahmad pun mengantar tamunya itu sampai
ke luar pagar rumah hingga tamunya itu hilang dari pandangannya. Setelah itu
Pak Ahmad masuk kembali ke dalam rumah, tampak di ruang tamu istrinya telah
menunggunya di sana.
“Tamunya sudah
pulang ya pak?”.
“Iya bu, barusan
saja. Ibunya telat bikinin teh, tamunya keburu pulang bu-bu”.
“Walah tehnya
bagaimana pak?”.
“Iya, kita yang
minum toh bu, lagian sudah lama toh bu kita tidak minum teh bareng”.
Pak Ahmad
menggoda istrinya dengan memberi senyum yang menggoda, istrinya pun membalas
senyuman itu.
“Pak, ibu lama
bikinin tehnya karena tadi si Ajeng telepon, mengabarkan kalau dia masuk ke
Universitas Negeri dan mendapat beasiswa dari universitas itu karena nilai
Ajeng bagus-bagus, dan ternyata pak ya, Ajeng disuruh ke sekolah hari ini, itu
bukan karena nilainya hancur tapi nilainya bagus-bagus pak…”.
“Anak siapa
dulu, anak bapak”.
“Eh eh eh… anak
ibu juga, masak hanya anak bapak seorang”.
“Iya, anak kita
berdua” sambil tertawa.
“Oh iya, pak
maksud kedatangan tamu tadi apa ya?”.
Pak Ahmad
tersenyum dan menceritakan kembali kepada istrinya mengenai tamu tadi, dengan
hati yang senang istrinya mendengarkan cerita Pak Ahmad. Ketika sedang
asyik-asyiknya bercerita anak-anak pulang dan mereka pun ikut bergabung dalam
kebahagiaan orang tuanya.
***
(Y):)
BalasHapus^_^
Hapus