Orang hebat tidak tebar pesona tapi tebar manfaat...

Minggu, 22 Juli 2012

cerpen



Tatapan Mata Elang
Oleh Karlina 


Sinar matahari berloncatan masuk dari celah kamar Shinta, jendela kamar perlahan-lahan dibuka, dan suara nyanyian merdu kicau burung menambah hangatnya suasana pagi.
Hari ini Shinta sangat bersemangat untuk pergi sekolah, karena hari ini adalah hari senin dimana pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran favorit Shinta ada pada hari ini. Selain hari senin pelajaran Bahasa Indonesia juga ada di hari kamis dan jum’at. Dengan mengenakan seragam putih abu-abunya dia sudah siap untuk pergi sekolah, seperti biasa sebelum berangkat Shinta menemui mamanya di warung yang berada di sebelah rumahnya di sana mamanya sedang memasak bersama budeh Dewi dan budeh Wati yang membantu mamanya memasak. Budeh Dewi dan Budeh Wati sudah lama bekerja sama mama Shinta sejak Shinta duduk dikelas 6 SD. Mereka sudah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Shinta. Shinta mempunyai warung makan yang selalu ramai oleh anak-anak kos yang berada di sekitar sana, kota Pelajar memang sangat memberi keuntungan bagi warung-warung makan seperi warung mamanya Shinta apalagi warungnya ini berada tidak jauh dari kampus. Selain itu mama Shinta juga membuka usaha ketring. Papa Shinta telah lama meninggal sejak dia berumur 3 tahun, sekarang Shinta telah duduk di bangku sekolah kelas XI SMA, itu berarti sudah 14 tahun papanya meninggalkan mereka.
“Ma, Shinta berangkat dulu ya…”
“Nggak makan dulu, sayang ?”
“Nggak ma, Shinta puasa”
“Ya, sudah hati-hati dijalan ya…”
“Ya ma, Assalamualaikum”
“Wa’alaikum Salam”.
“Budeh Dewi dan Budeh Wati, Shinta pergi sekolah dulu ya…”
“Yo Ndok, ati-ati neng jalan yo..”
“Ya, Budeh terimakasih”
Untuk menuju jalan raya, Shinta menyelusuri jalan kecil karena rumah Shinta berada di dalam gang. Biasanya Shinta pergi sekolah naik bus. Seperti biasa, setiap pagi dia selalu melihat seorang nenek yang kalau di daerah Jogja sering disebut dengan eyang putri, embah putri atau embahti di depan rumahnya yang berukuran sedang tepat berada di pertigaan jalan, dengan rambut putih panjang terurai. Embah itu memandang Shinta dengan tatapan yang tajam tampa berkedip sedikit pun, seolah-olah dia kenal dengan Shinta. Ada sedikit rasa takut di hati Shinta yang setiap pagi selalu memdanginya itu seperti mata elang yang ingin memangsa anak ayam. Makanya Shinta sering menyebut embah itu sebagai si mata elang.
“Ya ampun, mengapa embah itu melihat aku dengan tatapan tajam seperti itu”.
Shinta semakin mempercepat langkahnya.
            Sepulang dari sekolah Shinta langsung ingin pulang, biasanya sehabis pulang sekolah dia mampir dulu keperpustakaan yang berada dekat sekolahnya atau nongkrong di warung bakso Buk Lilis bersama teman-temanya, tapi entah mengapa perasaannya tidak enak pada saat itu. Rasa-rasanya dia ingin cepat-cepat pulang.
Dari kejauhan teman Shinta memanggilnya dan berlari menyusul Shinta.
“Shinta, tunggu!”.
Shinta menoleh dan membalikan badannya menunggu Elin sahabatnya itu.
“Ada apa, Elin?”
Dengan nada ngos-ngosan Elin menjawab.
“Ye… kamu kok ninggalin aku sih, jadikan kita ke perpustakkaan hari ini?”
“Emmm, maaf Elin kayaknya aku nggak bisa deh”
“Lho kok, bisa kayak gitu” (sambil cemberut)
Tiba-tiba Iis muncul dihadapan mereka berdua
“Lho kok, masih ngerumpi, ayo kita ke perpustakaan sekarang!”
“Eh… nanti dulu, inilah masalahnya si jeng Shinta nggak mau ke perpustakaan”
“Eh… kenapa kamu Shinta nggak biasanya? biasanya kamu yang paling kebelet mau ke perpustakaan”
“Iya neh, biasalah mau melihat si cakep Mas Yayat yang  jaga perpustakaan”
“Ih… kalian apa-apaan sih, aku ini bener-bener mau pulang, nggak tahu kenapa perasaan aku nggak eanak gitu”
“Ya, sudahlah kalua gitu, kami pergi ke sana ya…ayo Elin”
“Ayo, lagian juga kasian sama Esta, sudah lama dia menunggu di sana”
“Da daah, Shinta”
Shinta melambaikan tangannya kepada kedua sahabatnya itu, dia masih berdiri memandang kedua sahabatnya itu sampai hilang di balik pagar sekolah. Dengan berjalan lesu dia pun menuju ke gerbang sekolah.
Ketika memasuki gang rumahnya, dia sangat terkejut melihat bendera kuning di depan gang, di dalam hatinya dia berkata.
“Siapakah yang meninggal?”
Rasa penasaran pun berkumandang didalam benaknya, dengan perlahan-lahan dia berjalan menyelusuri jalan gang. Dia sangat terkejut sekali ketika berada di pertigaan jalan, di sana dia melihat banyak orang-orang. Shinta berpikir keras apakah si pemilik mata elang itu yang meninggal yaitu nenek yang setiap pagi selalu memandanginya itu. Aura kedukaan menyelimuti kediaman nenek itu. Rasa penasaran Shinta masih belum terobati, untuk memastikannya dia lalu bertanya kepada salah seorang yang pergi melayat pada saat itu.
“Maaf bu, kalau boleh tahu siapa ya… yang meninggal?”
“Embahti Ning, mbak… yang meninggal”
Ternyata nama nenek itu adalah Ning. Entah mengapa air bening keluar dari mata Shinta dan jatuh perlahan-lahan membasahi pipinya, air mata itu tersa hangat. Seperti ada magnet yang menarik tubuh Shinta untuk masuk ke rumah itu. Samapai di daun pintu, lantunan ayat-ayat suci mulai terdengar semakin menambah kedukaan di rumah itu. Shinta berdiri kaku memandang mayat nenek itu, yang terkujur tak bernyawa. Mata Shinta beralih kesosok wanita yang ada di samping mayat nenek itu, terdengar isak tangis wanita itu tampaknya dia sangat sedih sekali, dia terus menunduk dan menangis. Tapi seperti Shinta mengenal wanita itu, karena tubuh dan pakaian yang digunakan seperti pakaian mamanya. Dia sangat yakin sekali bahwa wanita itu adalah mamanya, secara sepontan, Shinta memnggil mamanya.
“Mama”
Wanita itu menoleh, dan ternyata benar wanita itu adalah mamanya Shinta.
“Shinta!”
Shinta langsung masuk dan duduk di samping mamanya.
“Mama, mengapa menangis?”
Mama Shinta pun langsung memeluk Shinta sambil menangis.
“Shinta, yang meninggal ini adalah emabahtimu”
Shinta langsung melepaskan pelukan mamanya dan menatap mata mamanya, seakan meminta jawaban yang benar bukan palsu atau kebohongan. Tak sedikit pun terlihat kepalsuan di balik mata mama Shinta, mata itu benar-benar tidak berbohong. Seperti disambar petir tubuh Shinta langsung lemas dan dia pun tidak sadarkan diri.
Ketika sadar dia telah berada di dalam kamarnya, dia melihat sekelilingnya sepi.
“Apa ini mimpi?”
Tiba-tiba pintu kamar Shinta terbuka, muncul sosok lembut dan keibuan dari balik pintu kamar Shinta yaitu mamanya.
“Kamu sudah sadar, sayang?”
“Ternyata ini bukan mimpi ma, kemana orang-orang yang ramai itu ma? dan kemana mayat embahti ma?”
“Tidak sayang, ini tidak mimpi, embahti telah di makamkan”
“Ma, jawab dengan jujur! siapa nenek itu?”
“Dia embahtimu sayang”
“Aku, nggak ngerti ma…”
“Sayang, saatnya kamu tahu bahwa nenek itu adalah emabhtimu, beliau adalah ibu dari papamu”
“Apa!”
“Iya, sayang dia adalah embahtimu, sejak papamu meninggal, embahtimu tidak mau lagi menganggap kita sebagai keluarga”
“Kenapa ma? Apa yang terjadi?”
“Dulu waktu mama masih kuliah disini, mamamu berpacaran dengan papamu. Embahtimu semula memang tidak merestui hubungan mama dan papamu, tapi karena cinta mama dan papamu tidak dapat dipisahkan, akhirnya nenekmu merestui hubungan kami, mama dan papamu akhirnya menikah dan tinggal di Palembang, tapi ketika kamu berusia 3 tahun, papamu mulai sakit-sakitan. Mama bingung pada saat itu, berbagai pengobatan telah dicoba dari dokter sampai pengobatan alternatif pun telah dicoba, tapi hasilnya sia-sia saja. Uang kita habis untuk mengobati papamu. Karena papamu tidak pernah bekerja akhirnya papamu dipecat dari kantornya. Mama yang memang tidak pernah diizinkan oleh papamu untuk bekerja akhirnya memberanikan diri untuk bekerja karena kalau tidak begitu bagaimana kita mau makan, mama bekerja di sebuah toko pakaian kebetulan si pemelik toko itu masih teman mama, mama bekerja dari siang samapai malam hari, tapi itu hanya bertahan 3 hari karena mama kasian sama kamu dan papamu yang harus ditinggal, kamu sering mama titipkan sama bibimu. Nenek dan kakekmu yang ada di Palembang kasian melihat mama, beliau memberikan modal kepada mama untuk membuka warung kecil-kecilan. Alhamdulillah warung kita selalu ramai oleh pembeli sampai-sampai mamamu tidak punya waktu untuk mengurusi papamu lagi, tapi pada malam itu, yaitu malam yang sangat membuat mamamu merasa berdosa, tak biasanya mama melihat papamu tidur dengan keadaan senyum dan penuh ketenangan. Mama memandang tubuh papamu dengan senyuman tapi mama merasa ada yang janggal pada saat itu karena papamu sudah tidak bernyawa lagi. Bagaikan badai yang masuk rumah kita, rasanya mama tidak bisa bernapas lagi, mama sesak dan menjerit-jerit memanggil-manggil papamu, mama guncang-guncangkan tubuh papamu berharap papamu bangun, tapi…”
Mama Shinta berhenti bercerita, suara isakan mamanya mulai terdengar Shinta langsung memeluk tubuh mamanya, memberikan kekuatan untuk mamanya dan berharap beban mamanya itu dapat mengalir dalam tubuhnya Shinta sehingga dapat mengurangi beban-beban yang ada pada diri mamanya. Mereka berdua sama-sama menangis. 15 menit kemudia isak tangis mulai meredah, mama Shinta melanjutkan kembali ceritanya.
“Kematian papamu, membuat Embahtimu tidak terima. Embahtimu menuduh bahwa mama yang menyebabkan kematian papamu karena tidak mau lagi mengurusi papamu, embahtimu bilang bahwa mama memang sengaja membuat papamu meninggal karena tidak sanggup lagi hidup dengan orang yang penyakitan dan ingin menikah lagi,. Mama ingin membuktikan kepada embahti bahwa apa yang dituduhkannya itu tidaklah benar, akhirnya mama menjual rumah kita yang ada di Palembang dan memutuskan untuk pindah ke Jogja tempat embahtimu, tapi kedatangan kita tidak diterima olehnya. Embahtimu mengusir kita berdua, mama ingin sekali membuktikan bahwa mama tidak seperti yang dituduhkan oleh embahtimu. Akhirnya mama memutuskan untuk tetap berada di Jogja dan tinggal disekitar rumah embahti. Kebetulan pada saat itu ada warga yang ingin menjual rumahnya, tanpa berpikir panjang mama langsung membeli rumah tersebut dan membuka warung makan kecil-kecilan. Ternyata warung makan kita ramai dan bisa membiayai kihudupan kita. Mama masih sering datang mengunjungi embahti bersama kamu, tapi embahti masih saja bersikap tak suka pada mama”
“Apakah hanya berhenti sampai disitu saja, ma?”
“Tidak, mama tidak menyerah untuk terus berbaikan dengan embahtimu, dan pada suatu ketika mama bicara pada embahtimu, menanyakan mengapa embahti tidak mau menerima kita, walaupun tidak bisa menerima mama setidaknya dia mau menerima kamu sebagai cucunya, tapi embahtimu berkata “ Jangan-jangan itu bukan cucuku”. Sejak saat itu, mama tidak pernah lagi main ketempat embahtimu lagi”
“Lantas, mengapa selama ini mama tidak cerita bahwa dia adalah embahti Shinta?”
“Mama tidak mau, kalau kamu nantinya akan diusir juga, itu akan membuat hati mamamu sakit”
“Tidak masuk akal!”
“Maafkan mama sayang”
“Sudahlah ma, ini sudah terlambat, tak ada gunanya untuk saling menyalahkan”
Suasana hening sesaat, Shinta dan mamanya sibuk dengan pikirannya masing-masing, dipikiran mamanya menyesali mengapa tidak dia katakan dari dulu, kepada Shinta. Mungkin tidak akan begini jadinya. Sedangkan dipikiran Shinta mengingat kembali tatapan mata elang itu, ternyata terjawab sudah mengapa selama ini beliau selalu melihatnya dengan tatapan tajam. Tapi Shinta dan mamanya tidak pernah membeci sedekit pun pada embahti.
“Ah, sudalah ma. Ayo kita ke pemakaman embahti sekarang, tidak ada yang mesti disesalkan. Mari kita sama-sama berdoa semoga embahti tenang di sana.
Mama terenyum, dan memeluk anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang. Mereka pun lalu pergi bersama-sama ke pemakaman embahti.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya :)

My Great Web page