Tatapan Mata Elang
Oleh Karlina
Sinar matahari berloncatan masuk
dari celah kamar Shinta, jendela kamar perlahan-lahan dibuka, dan suara
nyanyian merdu kicau burung menambah hangatnya suasana pagi.
Hari ini Shinta sangat bersemangat
untuk pergi sekolah, karena hari ini adalah hari senin dimana pelajaran Bahasa
Indonesia, pelajaran favorit Shinta ada pada hari ini. Selain hari senin
pelajaran Bahasa Indonesia juga ada di hari kamis dan jum’at. Dengan mengenakan
seragam putih abu-abunya dia sudah siap untuk pergi sekolah, seperti biasa
sebelum berangkat Shinta menemui mamanya di warung yang berada di sebelah
rumahnya di sana mamanya sedang memasak bersama budeh Dewi dan budeh Wati yang
membantu mamanya memasak. Budeh Dewi dan Budeh Wati sudah lama bekerja sama
mama Shinta sejak Shinta duduk dikelas 6 SD. Mereka sudah dianggap keluarga
sendiri oleh keluarga Shinta. Shinta mempunyai warung makan yang selalu ramai
oleh anak-anak kos yang berada di sekitar sana, kota Pelajar memang sangat memberi
keuntungan bagi warung-warung makan seperi warung mamanya Shinta apalagi
warungnya ini berada tidak jauh dari kampus. Selain itu mama Shinta juga
membuka usaha ketring. Papa Shinta telah lama meninggal sejak dia berumur 3
tahun, sekarang Shinta telah duduk di bangku sekolah kelas XI SMA, itu berarti
sudah 14 tahun papanya meninggalkan mereka.
“Ma, Shinta berangkat dulu ya…”
“Nggak makan dulu, sayang ?”
“Nggak ma, Shinta puasa”
“Ya, sudah hati-hati dijalan ya…”
“Ya ma, Assalamualaikum”
“Wa’alaikum Salam”.
“Budeh Dewi dan Budeh Wati, Shinta pergi
sekolah dulu ya…”
“Yo Ndok, ati-ati neng jalan yo..”
“Ya, Budeh terimakasih”
Untuk menuju jalan raya, Shinta
menyelusuri jalan kecil karena rumah Shinta berada di dalam gang. Biasanya
Shinta pergi sekolah naik bus. Seperti biasa, setiap pagi dia selalu melihat
seorang nenek yang kalau di daerah Jogja sering disebut dengan eyang putri, embah
putri atau embahti di depan rumahnya yang berukuran sedang tepat berada di
pertigaan jalan, dengan rambut putih panjang terurai. Embah itu memandang
Shinta dengan tatapan yang tajam tampa berkedip sedikit pun, seolah-olah dia
kenal dengan Shinta. Ada sedikit rasa takut di hati Shinta yang setiap pagi
selalu memdanginya itu seperti mata elang yang ingin memangsa anak ayam.
Makanya Shinta sering menyebut embah itu sebagai si mata elang.
“Ya ampun, mengapa embah itu melihat aku dengan
tatapan tajam seperti itu”.
Shinta semakin mempercepat langkahnya.
Sepulang
dari sekolah Shinta langsung ingin pulang, biasanya sehabis pulang sekolah dia
mampir dulu keperpustakaan yang berada dekat sekolahnya atau nongkrong di
warung bakso Buk Lilis bersama teman-temanya, tapi entah mengapa perasaannya
tidak enak pada saat itu. Rasa-rasanya dia ingin cepat-cepat pulang.
Dari kejauhan teman Shinta memanggilnya dan
berlari menyusul Shinta.
“Shinta, tunggu!”.
Shinta menoleh dan membalikan badannya menunggu
Elin sahabatnya itu.
“Ada apa, Elin?”
Dengan nada ngos-ngosan Elin menjawab.
“Ye… kamu kok ninggalin aku sih, jadikan kita
ke perpustakkaan hari ini?”
“Emmm, maaf Elin kayaknya aku nggak bisa deh”
“Lho kok, bisa kayak gitu” (sambil cemberut)
Tiba-tiba Iis muncul dihadapan mereka berdua
“Lho kok, masih ngerumpi, ayo kita ke
perpustakaan sekarang!”
“Eh… nanti dulu, inilah masalahnya si jeng
Shinta nggak mau ke perpustakaan”
“Eh… kenapa kamu Shinta nggak biasanya? biasanya
kamu yang paling kebelet mau ke perpustakaan”
“Iya neh, biasalah mau melihat si cakep Mas
Yayat yang jaga perpustakaan”
“Ih… kalian apa-apaan sih, aku ini bener-bener
mau pulang, nggak tahu kenapa perasaan aku nggak eanak gitu”
“Ya, sudahlah kalua gitu, kami pergi ke sana
ya…ayo Elin”
“Ayo, lagian juga kasian sama Esta, sudah lama
dia menunggu di sana”
“Da daah, Shinta”
Shinta melambaikan tangannya kepada kedua
sahabatnya itu, dia masih berdiri memandang kedua sahabatnya itu sampai hilang
di balik pagar sekolah. Dengan berjalan lesu dia pun menuju ke gerbang sekolah.
Ketika memasuki gang rumahnya, dia
sangat terkejut melihat bendera kuning di depan gang, di dalam hatinya dia
berkata.
“Siapakah yang meninggal?”
Rasa penasaran pun berkumandang didalam
benaknya, dengan perlahan-lahan dia berjalan menyelusuri jalan gang. Dia sangat
terkejut sekali ketika berada di pertigaan jalan, di sana dia melihat banyak
orang-orang. Shinta berpikir keras apakah si pemilik mata elang itu yang
meninggal yaitu nenek yang setiap pagi selalu memandanginya itu. Aura kedukaan
menyelimuti kediaman nenek itu. Rasa penasaran Shinta masih belum terobati,
untuk memastikannya dia lalu bertanya kepada salah seorang yang pergi melayat
pada saat itu.
“Maaf bu, kalau boleh tahu siapa ya… yang
meninggal?”
“Embahti Ning, mbak… yang meninggal”
Ternyata nama nenek itu adalah Ning. Entah
mengapa air bening keluar dari mata Shinta dan jatuh perlahan-lahan membasahi
pipinya, air mata itu tersa hangat. Seperti ada magnet yang menarik tubuh
Shinta untuk masuk ke rumah itu. Samapai di daun pintu, lantunan ayat-ayat suci
mulai terdengar semakin menambah kedukaan di rumah itu. Shinta berdiri kaku
memandang mayat nenek itu, yang terkujur tak bernyawa. Mata Shinta beralih
kesosok wanita yang ada di samping mayat nenek itu, terdengar isak tangis
wanita itu tampaknya dia sangat sedih sekali, dia terus menunduk dan menangis.
Tapi seperti Shinta mengenal wanita itu, karena tubuh dan pakaian yang
digunakan seperti pakaian mamanya. Dia sangat yakin sekali bahwa wanita itu
adalah mamanya, secara sepontan, Shinta memnggil mamanya.
“Mama”
Wanita itu menoleh, dan ternyata benar wanita
itu adalah mamanya Shinta.
“Shinta!”
Shinta langsung masuk dan duduk di samping
mamanya.
“Mama, mengapa menangis?”
Mama Shinta pun langsung memeluk Shinta sambil
menangis.
“Shinta, yang meninggal ini adalah emabahtimu”
Shinta langsung melepaskan pelukan mamanya dan
menatap mata mamanya, seakan meminta jawaban yang benar bukan palsu atau kebohongan.
Tak sedikit pun terlihat kepalsuan di balik mata mama Shinta, mata itu
benar-benar tidak berbohong. Seperti disambar petir tubuh Shinta langsung lemas
dan dia pun tidak sadarkan diri.
Ketika sadar dia telah berada di dalam kamarnya,
dia melihat sekelilingnya sepi.
“Apa ini mimpi?”
Tiba-tiba pintu kamar Shinta terbuka, muncul
sosok lembut dan keibuan dari balik pintu kamar Shinta yaitu mamanya.
“Kamu sudah sadar, sayang?”
“Ternyata ini bukan mimpi ma, kemana
orang-orang yang ramai itu ma? dan kemana mayat embahti ma?”
“Tidak sayang, ini tidak mimpi, embahti telah
di makamkan”
“Ma, jawab dengan jujur! siapa nenek itu?”
“Dia embahtimu sayang”
“Aku, nggak ngerti ma…”
“Sayang, saatnya kamu tahu bahwa nenek itu
adalah emabhtimu, beliau adalah ibu dari papamu”
“Apa!”
“Iya, sayang dia adalah embahtimu, sejak papamu
meninggal, embahtimu tidak mau lagi menganggap kita sebagai keluarga”
“Kenapa ma? Apa yang terjadi?”
“Dulu waktu mama masih kuliah disini, mamamu
berpacaran dengan papamu. Embahtimu semula memang tidak merestui hubungan mama
dan papamu, tapi karena cinta mama dan papamu tidak dapat dipisahkan, akhirnya nenekmu
merestui hubungan kami, mama dan papamu akhirnya menikah dan tinggal di
Palembang, tapi ketika kamu berusia 3 tahun, papamu mulai sakit-sakitan. Mama
bingung pada saat itu, berbagai pengobatan telah dicoba dari dokter sampai
pengobatan alternatif pun telah dicoba, tapi hasilnya sia-sia saja. Uang kita
habis untuk mengobati papamu. Karena papamu tidak pernah bekerja akhirnya papamu
dipecat dari kantornya. Mama yang memang tidak pernah diizinkan oleh papamu
untuk bekerja akhirnya memberanikan diri untuk bekerja karena kalau tidak
begitu bagaimana kita mau makan, mama bekerja di sebuah toko pakaian kebetulan
si pemelik toko itu masih teman mama, mama bekerja dari siang samapai malam
hari, tapi itu hanya bertahan 3 hari karena mama kasian sama kamu dan papamu yang
harus ditinggal, kamu sering mama titipkan sama bibimu. Nenek dan kakekmu yang ada
di Palembang kasian melihat mama, beliau memberikan modal kepada mama untuk
membuka warung kecil-kecilan. Alhamdulillah warung kita selalu ramai oleh
pembeli sampai-sampai mamamu tidak punya waktu untuk mengurusi papamu lagi,
tapi pada malam itu, yaitu malam yang sangat membuat mamamu merasa berdosa, tak
biasanya mama melihat papamu tidur dengan keadaan senyum dan penuh ketenangan.
Mama memandang tubuh papamu dengan senyuman tapi mama merasa ada yang janggal
pada saat itu karena papamu sudah tidak bernyawa lagi. Bagaikan badai yang
masuk rumah kita, rasanya mama tidak bisa bernapas lagi, mama sesak dan
menjerit-jerit memanggil-manggil papamu, mama guncang-guncangkan tubuh papamu
berharap papamu bangun, tapi…”
Mama Shinta berhenti bercerita, suara isakan
mamanya mulai terdengar Shinta langsung memeluk tubuh mamanya, memberikan
kekuatan untuk mamanya dan berharap beban mamanya itu dapat mengalir dalam
tubuhnya Shinta sehingga dapat mengurangi beban-beban yang ada pada diri
mamanya. Mereka berdua sama-sama menangis. 15 menit kemudia isak tangis mulai
meredah, mama Shinta melanjutkan kembali ceritanya.
“Kematian papamu, membuat Embahtimu tidak
terima. Embahtimu menuduh bahwa mama yang menyebabkan kematian papamu karena
tidak mau lagi mengurusi papamu, embahtimu bilang bahwa mama memang sengaja
membuat papamu meninggal karena tidak sanggup lagi hidup dengan orang yang
penyakitan dan ingin menikah lagi,. Mama ingin membuktikan kepada embahti bahwa
apa yang dituduhkannya itu tidaklah benar, akhirnya mama menjual rumah kita
yang ada di Palembang dan memutuskan untuk pindah ke Jogja tempat embahtimu,
tapi kedatangan kita tidak diterima olehnya. Embahtimu mengusir kita berdua,
mama ingin sekali membuktikan bahwa mama tidak seperti yang dituduhkan oleh
embahtimu. Akhirnya mama memutuskan untuk tetap berada di Jogja dan tinggal
disekitar rumah embahti. Kebetulan pada saat itu ada warga yang ingin menjual
rumahnya, tanpa berpikir panjang mama langsung membeli rumah tersebut dan
membuka warung makan kecil-kecilan. Ternyata warung makan kita ramai dan bisa
membiayai kihudupan kita. Mama masih sering datang mengunjungi embahti bersama
kamu, tapi embahti masih saja bersikap tak suka pada mama”
“Apakah hanya berhenti sampai disitu saja, ma?”
“Tidak, mama tidak menyerah untuk terus
berbaikan dengan embahtimu, dan pada suatu ketika mama bicara pada embahtimu,
menanyakan mengapa embahti tidak mau menerima kita, walaupun tidak bisa
menerima mama setidaknya dia mau menerima kamu sebagai cucunya, tapi embahtimu
berkata “ Jangan-jangan itu bukan cucuku”. Sejak saat itu, mama tidak pernah
lagi main ketempat embahtimu lagi”
“Lantas, mengapa selama ini mama tidak cerita
bahwa dia adalah embahti Shinta?”
“Mama tidak mau, kalau kamu nantinya akan
diusir juga, itu akan membuat hati mamamu sakit”
“Tidak masuk akal!”
“Maafkan mama sayang”
“Sudahlah ma, ini sudah terlambat, tak ada
gunanya untuk saling menyalahkan”
Suasana hening sesaat, Shinta dan mamanya sibuk
dengan pikirannya masing-masing, dipikiran mamanya menyesali mengapa tidak dia
katakan dari dulu, kepada Shinta. Mungkin tidak akan begini jadinya. Sedangkan
dipikiran Shinta mengingat kembali tatapan mata elang itu, ternyata terjawab
sudah mengapa selama ini beliau selalu melihatnya dengan tatapan tajam. Tapi
Shinta dan mamanya tidak pernah membeci sedekit pun pada embahti.
“Ah, sudalah ma. Ayo kita ke pemakaman embahti
sekarang, tidak ada yang mesti disesalkan. Mari kita sama-sama berdoa semoga
embahti tenang di sana.
Mama terenyum, dan memeluk anak semata
wayangnya itu dengan penuh kasih sayang. Mereka pun lalu pergi bersama-sama ke
pemakaman embahti.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya :)