Orang hebat tidak tebar pesona tapi tebar manfaat...

Kamis, 26 Juli 2012

Sujud...


Perlu Dikethui!

Sebuah hasil riset ilmiah paling modern menegasakan bahwa manusia dewasa ini menghadapi radiasi yang berlebihan serta hidup di tengah-tengah pengaruh zona elektromagnetik yang bisa mengganggu sel-sel tubuh kita serta merusak jaringan kerjanya. Keadaan seperti ini menimbulkan berbagai jenis penyakit modern, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Berkaitan dengan hal ini, sujud berfungsi sebagai koneksi dengan bumi untuk mengosongkan muatan yang berlebihan dengan menyambungkan jidat ke tanah. Disebutkan pula bahwa setiap kali manusia itu lebih minim poros tingginya, maka semakin sedikit pula resikonya untuk terkena zona elektromagnetik. Ini pun terjadi ketika seseorang itu melakukan sujud. Studi itu juga menjelaskan bahwa menghadap ke mekah dalam sujud merupakan posisi yang paling baik untuk mengosongkan muatan tersebut, karena hal itu berarti menghadap ke pusat bumi. Keadaan inilah yang melepaskan seseorang dari perasaan resah untuk kemudian merasa nyaman dan tentram jiwanya. Prof. Abdul Halim Khafaji menceritakan bahwa seseorang warga Jerman masuk Islam gara-gara melihat kaum Muslimin mengerjakan sujud dalam shalat. Dia menanyakan posisi seperti yang mereka lakukan itu. Biasanya, jika dia ingin melakukan relaksasi, maka dia menyungkur ke tanah seperti posisi sujud dalam shalat dan ketika dia melihat kaum Muslimin melakukan posisi yang sama, dia pun menanyakan perihal Islam sampai akhirnya Allah SWT memberikan petunjuk kepadanya dan dia pun masuk Islam.

Selasa, 24 Juli 2012

Sudah Khusyukah Shalat Kita?


Apakah Anda Termasuk Lakon dalam kisah Ini?


Abu Hurairah meriwayatkan bahwa ada seseorang yang masuk masjid, sementara itu Nabi  Saw  sedang duduk di sisi masjid. Orang itu pun lantas mengerjakan sholat. Sesudah itu dia datang kepada Nabi Saw dengan mengucapkan salam kepada beliau.
Nabi Saw menjawab, “Wa’alaikumsalam. Kembalilah dan ulangi lagi sholatmu, karena sebenarnya engkau belum menunaikan sholat!” 
Dia pun kembali mengerjakan sholat, kemudian datang menghadap Nabi Saw dan mengucapkan salam kepada beliau. Beliau kembali lagi menjawab, “Wa’alaikumsalam. Kembalilah dan ulangi lagi sholatmu, karena sebenarnya engkau belum menunaikan sholat!” 
Dia pun kembali mengerjakan sholat, kemudian datang menghadap Nabi Saw dan mengucapkan salam kepada beliau. Beliau kembali lagi mengatakan kepadanya, “Wa’alaikumsalam. Kembalilah dan ulangi lagi sholatmu, Dia pun kembali mengerjakan sholat, kemudian datang menghadap Nabi Saw dan mengucapkan salam kepada beliau. Beliau kembali lagi menjawab, “Wa’alaikumsalam. Kembalilah dan ulangi lagi sholatmu, karena sebenarnya engkau belum menunaikan sholat!” 
Sesudah itu dia pun berkata, “Ya Rasulullah, ajarkan sholat kepadaku!”
Beliau bersabda, “Jika engkau hendak mengerjakan sholat, maka sempurnakanlah wudhu terlebih dahulu, kemudain menghadaplah ke arah kiblat. Bertakbirlah (Takbiratul Ihram), kemudian bacalah Al-Qur’an yang engkau bisa, lalu rukuklah sehingga engkau tenang (thuma’ninah) dalam rukukmu. Sesudah itu bangkitlah sehingga engkau benar-benar berdiri tegak. Kemudian bersujudlah sehingga engkau benar-benar tenang dalam sujudmu. Kemudian lakukanlah seperti itu sehingga engkau menyelesaikan seluruh (rakaat) sholatmu!”


Beginilah sholat mereka!
Sudah luruskah Sholat kita?

Berikut adalah orang-orang yang mencintai Allah.

       
*       Ibnu Al-Munkadir berkata, “ketika Ibnu Az-Zubair mengerjakan sholat, maka aku lihat dia seperti dahan sebuah pohon yang tertiup angin, sedangkan manjaniq menimpanya di sana sini”. (maksudnya, tak bergerak sedikit pun).

*       Mujahid berkata, “Ibnu Az-Zubair itu jika bangkit untuk mengejakan sholat, maka beliau menjadi seperti tongkat yang diberdirikan, karena kekhusyukannya”.

*       Yahya bin Watsab meriwayatkan bahwa Ibnu Az-Zubair sedang bersujud, sehigga seekor burung pipit hinggap di atas punggungnya. Burung itu tampaknya mengira bahwa punggung beliau itu adalah dahan pohon kurma atau tembok.

*       Maslamah bin Yasar sedang mengerjakan sholat di dalam masjid, lalu salah satu sisi bangunannya roboh. Orang-orang pun bangkit, sedangkan dia tidak tahu bahwa ada bagian dari bangunan masjid yang roboh.

*       Ya’qub Al-Hadharami adalah seorang yang tidak ada duanya di zamannya. Di antara bentuk kehuzudan beliau itu adalah bahwa selendang beliau pernah dicuri orang dengan mengambilnya dari atas pundaknya pada saat dia mengerjakan sholat, lalu selendang itu dikembalikan lagi oleh pencurinya, sedangkan beliau tidak merasakannya.

*       Suatu ketika terjadi kebakaran di rumah Ali bin Al-Husain, dan keika itu beliau sedang sujud. Orang-orang pun berteriak: “Wahai putra Rasulullah (maksudnya cicit beliau) kebakaran, kebakaran!” beliau ternyata tidak juga mengangkat kepala sampai kemudian api itu berhasil dipadamkan. Dikatakanlah kejadian itu kepadanya, lantas beliau menjawab, “Aku telah dibuat lalai oleh neraka lainnya!”

*       Muslim bin Yasar pernah berkata kepada keluarganya jika beliau hendak mengerjakan sholat, “Silahkan saja kalian berbicara, karena aku tidak mendengar percakapan kalian”.

*       Muhammad bin Ismail Al-Bukhari keluar bersama beberapa orang menuju ladang. Ketika waktu zhuhur tiba, beliau menjadi iman sholat. Ketika selesai, beliau sholat sunah. Setelah selesai, beliau baju seraya bertanya kepada beberapa yang menyertai beliau, “Coba perhatikan, adakah sesuatu di balik gamisku?” ternyata seekor zunbur (lalat buas) telah menyengatnya hingga enam belas atau tujuh belas tempat di tubuh beliau sehingga bengkak-bengkak. Mereka pun berkata, “Mengapa tidak engkau putuskan sholatmusejak pertama kali binatang itu menggigitmu?” beliau menjawab, “Aku sedang membaca satu surat, dan aku ingin menyempurnakannya”.

*       Pada suatu hari pernah dikatakan Amir bin Abdillah, “Apakah engkau mengatakan sesuatu kepada dirimu sendiri pada saat engkau mengerjakan sholat?”

*       Beliau menjawab, “Ya, benar. Yaitu tentang saat aku berdiri nanti di hadapan-Nya, lantas aku dihadapkan dua pilihan surga atau neraka”. Ditanyakan lagi kepadanya, “Apakah engkau mendapatkan sesutau sebagaimana yang kami dapatkan berkenaan dengan urusan-urusan duniawai?” beliau menjawab, “Aku lebih memilih terkena mata tombak daripada jika itu sampai terjadi pada diriku”.

*       Al-Hasan bin Amru Al-Fazzari berkata, “Seseorang maula (budak) milik Amru bin Uthbah menceritakan, kami keluar menuju wilayah musuh, dan kami tidak bisa saling menjaga karena beliau banyak mengerjakan sholat. Pada suatu malam, aku lihat beliau sedng mengerjakan sholat, lalu kami dengar raungan singa. Kami pun segera lari, namun beliau tetap saja berdiri mengerjakan sholat tanpa beranjak sedikit pun. Sesudah itu kami katakan kepada beliau, “Apakah kamu tidak takut singa?” beliau menjawab, “ sesungguhnya aku merasa malu kepada Allah jika sampai takut kepada sesuatu selain-Nya”. 
Tanda-tanda cinta tidak akan tersembunyi bagi siapa saja seperti pembawa minyak wangi manakalah keluar aromanya
                                                                       Sumber: Seakan Baru Kali ini Aku Sholat

Minggu, 22 Juli 2012

cerpen



Tatapan Mata Elang
Oleh Karlina 


Sinar matahari berloncatan masuk dari celah kamar Shinta, jendela kamar perlahan-lahan dibuka, dan suara nyanyian merdu kicau burung menambah hangatnya suasana pagi.
Hari ini Shinta sangat bersemangat untuk pergi sekolah, karena hari ini adalah hari senin dimana pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran favorit Shinta ada pada hari ini. Selain hari senin pelajaran Bahasa Indonesia juga ada di hari kamis dan jum’at. Dengan mengenakan seragam putih abu-abunya dia sudah siap untuk pergi sekolah, seperti biasa sebelum berangkat Shinta menemui mamanya di warung yang berada di sebelah rumahnya di sana mamanya sedang memasak bersama budeh Dewi dan budeh Wati yang membantu mamanya memasak. Budeh Dewi dan Budeh Wati sudah lama bekerja sama mama Shinta sejak Shinta duduk dikelas 6 SD. Mereka sudah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Shinta. Shinta mempunyai warung makan yang selalu ramai oleh anak-anak kos yang berada di sekitar sana, kota Pelajar memang sangat memberi keuntungan bagi warung-warung makan seperi warung mamanya Shinta apalagi warungnya ini berada tidak jauh dari kampus. Selain itu mama Shinta juga membuka usaha ketring. Papa Shinta telah lama meninggal sejak dia berumur 3 tahun, sekarang Shinta telah duduk di bangku sekolah kelas XI SMA, itu berarti sudah 14 tahun papanya meninggalkan mereka.
“Ma, Shinta berangkat dulu ya…”
“Nggak makan dulu, sayang ?”
“Nggak ma, Shinta puasa”
“Ya, sudah hati-hati dijalan ya…”
“Ya ma, Assalamualaikum”
“Wa’alaikum Salam”.
“Budeh Dewi dan Budeh Wati, Shinta pergi sekolah dulu ya…”
“Yo Ndok, ati-ati neng jalan yo..”
“Ya, Budeh terimakasih”
Untuk menuju jalan raya, Shinta menyelusuri jalan kecil karena rumah Shinta berada di dalam gang. Biasanya Shinta pergi sekolah naik bus. Seperti biasa, setiap pagi dia selalu melihat seorang nenek yang kalau di daerah Jogja sering disebut dengan eyang putri, embah putri atau embahti di depan rumahnya yang berukuran sedang tepat berada di pertigaan jalan, dengan rambut putih panjang terurai. Embah itu memandang Shinta dengan tatapan yang tajam tampa berkedip sedikit pun, seolah-olah dia kenal dengan Shinta. Ada sedikit rasa takut di hati Shinta yang setiap pagi selalu memdanginya itu seperti mata elang yang ingin memangsa anak ayam. Makanya Shinta sering menyebut embah itu sebagai si mata elang.
“Ya ampun, mengapa embah itu melihat aku dengan tatapan tajam seperti itu”.
Shinta semakin mempercepat langkahnya.
            Sepulang dari sekolah Shinta langsung ingin pulang, biasanya sehabis pulang sekolah dia mampir dulu keperpustakaan yang berada dekat sekolahnya atau nongkrong di warung bakso Buk Lilis bersama teman-temanya, tapi entah mengapa perasaannya tidak enak pada saat itu. Rasa-rasanya dia ingin cepat-cepat pulang.
Dari kejauhan teman Shinta memanggilnya dan berlari menyusul Shinta.
“Shinta, tunggu!”.
Shinta menoleh dan membalikan badannya menunggu Elin sahabatnya itu.
“Ada apa, Elin?”
Dengan nada ngos-ngosan Elin menjawab.
“Ye… kamu kok ninggalin aku sih, jadikan kita ke perpustakkaan hari ini?”
“Emmm, maaf Elin kayaknya aku nggak bisa deh”
“Lho kok, bisa kayak gitu” (sambil cemberut)
Tiba-tiba Iis muncul dihadapan mereka berdua
“Lho kok, masih ngerumpi, ayo kita ke perpustakaan sekarang!”
“Eh… nanti dulu, inilah masalahnya si jeng Shinta nggak mau ke perpustakaan”
“Eh… kenapa kamu Shinta nggak biasanya? biasanya kamu yang paling kebelet mau ke perpustakaan”
“Iya neh, biasalah mau melihat si cakep Mas Yayat yang  jaga perpustakaan”
“Ih… kalian apa-apaan sih, aku ini bener-bener mau pulang, nggak tahu kenapa perasaan aku nggak eanak gitu”
“Ya, sudahlah kalua gitu, kami pergi ke sana ya…ayo Elin”
“Ayo, lagian juga kasian sama Esta, sudah lama dia menunggu di sana”
“Da daah, Shinta”
Shinta melambaikan tangannya kepada kedua sahabatnya itu, dia masih berdiri memandang kedua sahabatnya itu sampai hilang di balik pagar sekolah. Dengan berjalan lesu dia pun menuju ke gerbang sekolah.
Ketika memasuki gang rumahnya, dia sangat terkejut melihat bendera kuning di depan gang, di dalam hatinya dia berkata.
“Siapakah yang meninggal?”
Rasa penasaran pun berkumandang didalam benaknya, dengan perlahan-lahan dia berjalan menyelusuri jalan gang. Dia sangat terkejut sekali ketika berada di pertigaan jalan, di sana dia melihat banyak orang-orang. Shinta berpikir keras apakah si pemilik mata elang itu yang meninggal yaitu nenek yang setiap pagi selalu memandanginya itu. Aura kedukaan menyelimuti kediaman nenek itu. Rasa penasaran Shinta masih belum terobati, untuk memastikannya dia lalu bertanya kepada salah seorang yang pergi melayat pada saat itu.
“Maaf bu, kalau boleh tahu siapa ya… yang meninggal?”
“Embahti Ning, mbak… yang meninggal”
Ternyata nama nenek itu adalah Ning. Entah mengapa air bening keluar dari mata Shinta dan jatuh perlahan-lahan membasahi pipinya, air mata itu tersa hangat. Seperti ada magnet yang menarik tubuh Shinta untuk masuk ke rumah itu. Samapai di daun pintu, lantunan ayat-ayat suci mulai terdengar semakin menambah kedukaan di rumah itu. Shinta berdiri kaku memandang mayat nenek itu, yang terkujur tak bernyawa. Mata Shinta beralih kesosok wanita yang ada di samping mayat nenek itu, terdengar isak tangis wanita itu tampaknya dia sangat sedih sekali, dia terus menunduk dan menangis. Tapi seperti Shinta mengenal wanita itu, karena tubuh dan pakaian yang digunakan seperti pakaian mamanya. Dia sangat yakin sekali bahwa wanita itu adalah mamanya, secara sepontan, Shinta memnggil mamanya.
“Mama”
Wanita itu menoleh, dan ternyata benar wanita itu adalah mamanya Shinta.
“Shinta!”
Shinta langsung masuk dan duduk di samping mamanya.
“Mama, mengapa menangis?”
Mama Shinta pun langsung memeluk Shinta sambil menangis.
“Shinta, yang meninggal ini adalah emabahtimu”
Shinta langsung melepaskan pelukan mamanya dan menatap mata mamanya, seakan meminta jawaban yang benar bukan palsu atau kebohongan. Tak sedikit pun terlihat kepalsuan di balik mata mama Shinta, mata itu benar-benar tidak berbohong. Seperti disambar petir tubuh Shinta langsung lemas dan dia pun tidak sadarkan diri.
Ketika sadar dia telah berada di dalam kamarnya, dia melihat sekelilingnya sepi.
“Apa ini mimpi?”
Tiba-tiba pintu kamar Shinta terbuka, muncul sosok lembut dan keibuan dari balik pintu kamar Shinta yaitu mamanya.
“Kamu sudah sadar, sayang?”
“Ternyata ini bukan mimpi ma, kemana orang-orang yang ramai itu ma? dan kemana mayat embahti ma?”
“Tidak sayang, ini tidak mimpi, embahti telah di makamkan”
“Ma, jawab dengan jujur! siapa nenek itu?”
“Dia embahtimu sayang”
“Aku, nggak ngerti ma…”
“Sayang, saatnya kamu tahu bahwa nenek itu adalah emabhtimu, beliau adalah ibu dari papamu”
“Apa!”
“Iya, sayang dia adalah embahtimu, sejak papamu meninggal, embahtimu tidak mau lagi menganggap kita sebagai keluarga”
“Kenapa ma? Apa yang terjadi?”
“Dulu waktu mama masih kuliah disini, mamamu berpacaran dengan papamu. Embahtimu semula memang tidak merestui hubungan mama dan papamu, tapi karena cinta mama dan papamu tidak dapat dipisahkan, akhirnya nenekmu merestui hubungan kami, mama dan papamu akhirnya menikah dan tinggal di Palembang, tapi ketika kamu berusia 3 tahun, papamu mulai sakit-sakitan. Mama bingung pada saat itu, berbagai pengobatan telah dicoba dari dokter sampai pengobatan alternatif pun telah dicoba, tapi hasilnya sia-sia saja. Uang kita habis untuk mengobati papamu. Karena papamu tidak pernah bekerja akhirnya papamu dipecat dari kantornya. Mama yang memang tidak pernah diizinkan oleh papamu untuk bekerja akhirnya memberanikan diri untuk bekerja karena kalau tidak begitu bagaimana kita mau makan, mama bekerja di sebuah toko pakaian kebetulan si pemelik toko itu masih teman mama, mama bekerja dari siang samapai malam hari, tapi itu hanya bertahan 3 hari karena mama kasian sama kamu dan papamu yang harus ditinggal, kamu sering mama titipkan sama bibimu. Nenek dan kakekmu yang ada di Palembang kasian melihat mama, beliau memberikan modal kepada mama untuk membuka warung kecil-kecilan. Alhamdulillah warung kita selalu ramai oleh pembeli sampai-sampai mamamu tidak punya waktu untuk mengurusi papamu lagi, tapi pada malam itu, yaitu malam yang sangat membuat mamamu merasa berdosa, tak biasanya mama melihat papamu tidur dengan keadaan senyum dan penuh ketenangan. Mama memandang tubuh papamu dengan senyuman tapi mama merasa ada yang janggal pada saat itu karena papamu sudah tidak bernyawa lagi. Bagaikan badai yang masuk rumah kita, rasanya mama tidak bisa bernapas lagi, mama sesak dan menjerit-jerit memanggil-manggil papamu, mama guncang-guncangkan tubuh papamu berharap papamu bangun, tapi…”
Mama Shinta berhenti bercerita, suara isakan mamanya mulai terdengar Shinta langsung memeluk tubuh mamanya, memberikan kekuatan untuk mamanya dan berharap beban mamanya itu dapat mengalir dalam tubuhnya Shinta sehingga dapat mengurangi beban-beban yang ada pada diri mamanya. Mereka berdua sama-sama menangis. 15 menit kemudia isak tangis mulai meredah, mama Shinta melanjutkan kembali ceritanya.
“Kematian papamu, membuat Embahtimu tidak terima. Embahtimu menuduh bahwa mama yang menyebabkan kematian papamu karena tidak mau lagi mengurusi papamu, embahtimu bilang bahwa mama memang sengaja membuat papamu meninggal karena tidak sanggup lagi hidup dengan orang yang penyakitan dan ingin menikah lagi,. Mama ingin membuktikan kepada embahti bahwa apa yang dituduhkannya itu tidaklah benar, akhirnya mama menjual rumah kita yang ada di Palembang dan memutuskan untuk pindah ke Jogja tempat embahtimu, tapi kedatangan kita tidak diterima olehnya. Embahtimu mengusir kita berdua, mama ingin sekali membuktikan bahwa mama tidak seperti yang dituduhkan oleh embahtimu. Akhirnya mama memutuskan untuk tetap berada di Jogja dan tinggal disekitar rumah embahti. Kebetulan pada saat itu ada warga yang ingin menjual rumahnya, tanpa berpikir panjang mama langsung membeli rumah tersebut dan membuka warung makan kecil-kecilan. Ternyata warung makan kita ramai dan bisa membiayai kihudupan kita. Mama masih sering datang mengunjungi embahti bersama kamu, tapi embahti masih saja bersikap tak suka pada mama”
“Apakah hanya berhenti sampai disitu saja, ma?”
“Tidak, mama tidak menyerah untuk terus berbaikan dengan embahtimu, dan pada suatu ketika mama bicara pada embahtimu, menanyakan mengapa embahti tidak mau menerima kita, walaupun tidak bisa menerima mama setidaknya dia mau menerima kamu sebagai cucunya, tapi embahtimu berkata “ Jangan-jangan itu bukan cucuku”. Sejak saat itu, mama tidak pernah lagi main ketempat embahtimu lagi”
“Lantas, mengapa selama ini mama tidak cerita bahwa dia adalah embahti Shinta?”
“Mama tidak mau, kalau kamu nantinya akan diusir juga, itu akan membuat hati mamamu sakit”
“Tidak masuk akal!”
“Maafkan mama sayang”
“Sudahlah ma, ini sudah terlambat, tak ada gunanya untuk saling menyalahkan”
Suasana hening sesaat, Shinta dan mamanya sibuk dengan pikirannya masing-masing, dipikiran mamanya menyesali mengapa tidak dia katakan dari dulu, kepada Shinta. Mungkin tidak akan begini jadinya. Sedangkan dipikiran Shinta mengingat kembali tatapan mata elang itu, ternyata terjawab sudah mengapa selama ini beliau selalu melihatnya dengan tatapan tajam. Tapi Shinta dan mamanya tidak pernah membeci sedekit pun pada embahti.
“Ah, sudalah ma. Ayo kita ke pemakaman embahti sekarang, tidak ada yang mesti disesalkan. Mari kita sama-sama berdoa semoga embahti tenang di sana.
Mama terenyum, dan memeluk anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang. Mereka pun lalu pergi bersama-sama ke pemakaman embahti.
***

Cerpen


Masalah Kehidupan
Oleh Karlina


Sudah hampir empat jam Pak Ahmad duduk di atas ranjangnya berdiam diri seperti sedang memikirkan sesuatu, suara istrinya yang sejak dari tadi memanggilnya tak dihiraukan, dia terhanyut dalam pikirannya sendiri. Ada sesuatu beban yang tampak jelas dari wajah Pak Ahmad, stres dan prustasi seakan siap hinggap ke pikiran Pak Ahmad, sedangkan pikiran jahat telah menari-nari senang dihadapan Pak Ahmad, tapi pikiran baik datang seakan dia tidak terima melihat kejadian ini, melihat pikiran jahat yang begitu sukacitanya terhadap peristiwa ini, akhirnya pikiran baik dan jahat berperang begitu hebatnya, tak tahu siapa yang akan memenangkan perang ini. Akhirnya, Pak Ahmad berdiri dan duduk kembali. Dia kembali berkonsentrasi, dia tidak mau menjadi stres akibat memikirkan masalah ini.
“Walah, bisa eddan aku kalau kayak gini. Harga-harga semakin naik, si bungsu Tole sudah lulus SMP dan mau melanjutkan ke SMA, baju seragam dan alat-alat sekolah belum beli. Sedangkan, mbaknya si Ajeng juga baru lulus SMA dan mau melanjutkan ke Universitas yang biayanya wuwalah mantap mahalnya. Duh… Gusti Allah tolonglah hambamu ini”.
Dari balik pintu kamar ternyata istri Pak Ahmad memperhatikan dan mendengar keluh kesah suaminya itu, tanpa disadari Pak Ahmad istrinya masuk ke kamar.
“Ada apa toh pak? Ibu perhatikan dari tadi bapak seperti orang eddan saja, bicara sendirian. Ada masalah apa? Mbok, cerita sama ibu!”.
Pak Ahmad kaget mendengar suara istrinya dan dia langsung menoleh ke arah istrinya itu.
“Eh ibu, kaget bapak bu, ini loh bu, harga barang-barang kebutuhan rumah tangga, semakin naik saja. Padahal, pemerintah baru berencana bahwa gaji Pegawai Negeri Sipil akan naik. Tapi kok, harga-harga yang duluan naik”.
“Wuwalah masalah itu toh, yang membikin suami ibu gila hari ini! Mbok jangan terlalu dipikirkan pak! Memang begitulah Negara kita”.
“Begini toh bu, bapak itu memikirkan nasib anak-anak kita. Tole tahun ini masuk ke SMA sedangkan mbaknya, si Ajeng mau masuk ke Universitas. Uang darimana bu? Mana hutang kita ke Bank kemaren saja belum lunas untuk biaya ganti rugi karena Tole kebut-kebutan di jalan raya akibatnya menabrak mobil mewah orang yang sedang terparkir. Itulah bagaimana ini, apa bapak mesti korupsi atau mencuri biar dapat uang?”.
Astafirullahhalazim pak, sabar pak, ngucap… apa yang telah bapak katakan! Allah tidak tidur…”.
“Jadi, gimana toh buk???”.
“Jual saja mas kawin kita”.
“Jangan toh buk, mas kawin itu banyak kenang-kenangannya”.
“ya, mau gimana lagi? Nanti kalau sudah ada uang bapak ganti lagi”.
“Ya, kalau ada uang untuk menggantinya, kalau tidak ada gimana? Ayo…?”.
“Ya, sudah kalau tidak ada, tidak bisa diganti, ya tidak apa-apa, lagian itu kan untuk kepentingan anak-anak kita juga, kalau ada diganti, kalau tidak ada ya, sudah tidak usah diganti. Ikhlas ibu, pak…”
“Sebaiknya kita cari jalan yang lain dulu bu, siapa tahu ada jalan keluarnya, kalau harus menjualkan mas kawin kita, bapak yang malahan tidak ikhlas”.
“Ya, terserah bapaklah, bagaimana bagusnya, jangan saja bapak mempunyai pikiran yang jahat seperti pikiran bapak tadi, mau mencuri atau korupsilah. Nah, kalau yang satu ini ibu sangat-sangat tidak ikhlas dunia dan akherat”.
“Ya, Insya Allah tidaklah bu”.
“Ya, sudah sekarang bapak makan dulu, dari pagi tadi bapak belum makan apa-apa. Nanti bapak sakit loh”.
“Oh iya bu, bapak lupa karena terlalu banyak pikiran. Ayo bu, kita makan dulu, eh eh.. mana si Ajeng dan Tole ya bu? Kok dari tadi bapak tidak melihat mereka ya…”.
“Oh…kalau si Tole main pak sama teman-temannya biasa anak laki-laki”.
“Hmmm… Tole-Tole jangan saja kamu membuat ulah lagi! Lalu Ajeng, kemana bu?”.
“Semoga tidak lagi pak, Tole membuat ulah. Kalau si Ajeng sudah dari tadi pagi pergi katanya si mau ke sekolah”.
“Hari minggu kok sekolah?”.
“Iya, katanya sih disuruh ke sekolah oleh gurunya”.
“Lha, perasaan tadi bapak mendengar Shinta kemari ya bu? Apa dia tidak sekolah? Biasanya Ajeng dan Shinta selalu pergi bareng ke sekolah”.
“Iya, pak memang tadi Shinta kemari, mengantarkan sayur yang ibu pesan ke mamanya. Kata Ajeng si memang tidak seluruh siswa yang disuruh datang ke sekolah, hanya beberapa siswa saja, tidak tahu ada apa ya pak kok, Ajeng disuruh ke Sekolah ya? Padahalkan pengumuman kelulusan sudah diumumkan tiga hari yang lalu, jangan-jangan nilai Ajeng hancur pak!”.
“Eh eh eh… jangan berpikiran yang tidak-tidak bu!”
“Ya, gimana pak. Kok hanya beberapa siswa saja yang disuruh ke sekolah, kalau tidak ada masalah atau nilai anak kita itu hancur lantas apa?”.
“Ya, berpikirlah positif bu! Jangan berpikiran yang bukan-bukan, tidak bagus bu!”.
“Iya pak semoga tidak terjadi hal-hal yang kita takutkan ya, pak”.
“Iya, amien bu… begitu dong jangan berpikiran hal yang tidak-tidak. Ngomong-ngomong makanannya sudah siap belum? Lapar bapak bu”.
“Oh, iya pak lupa ibu pak, kita kan mau makan tadi, ayo pak kita makan”.  
Keduanya pun pergi menuju meja makan.
            Sore harinya, seperti biasa Pak Ahmad menyiram tanaman yang berada di halaman rumahnya. Hal ini rutin dilakukannya setiap sorenya, menata taman merupakan hobi Pak Ahmad tak heran jika tanaman di perkarangan rumahnya sangat tertata rapi. Sambil menyemprot air ke tanaman, Pak Ahmad masih memikirkan masalahnya, sehingga Pak Ahmad tidak menyadari dan tidak mendengarkan suara tamu yang mengucap salam dari luar pagar rumah.
Assalamualaikum, Assalamualaikum….pak, pak Assalamualaikum”.
Suara tamu tesebut tidak didengar oleh Pak Ahmad, dia masih sibuk menyiram tanaman.
Assalamualaikum, Assalamualaikum, Assalamualaikum…. pak, pak Assalamualaikum”.
Tamu tersebut akhirnya menaikkan volume suaranya, berharap Pak Ahmad mendengarkan. Tapi, masih saja suara tamu itu tidak didengarkan oleh Pak Ahmad. Tamu tersebut pun mulai bingung, mencari ide bagaimana suaranya bisa didengar oleh Pak Ahmad. Akhirnya tamu tersebut mengulang kembali mengucap salam dengan volume suara yang tinggi.
Assalamualaikum, Assalamualaikum, Assalamualaikum…. pak, pak Assalamualaikum”.
Tapi, yang mendengarkan salam tersebut bukannya Pak Ahmad, melainkan istrinya yang sedang memasak di dapur karena mendengar salam tersebut istrinya pun segera menuju ke halaman rumah.
Walaikumsalam Warahmatullah Hiwabarakatu…”.
Istrinya Pun menghampiri Pak Ahmad yang dari tadi masih sibuk menyiram tanaman yang tanpa sadar bahwa ada tamu yang sudah dari tadi berdiri di depan pintu pagar rumahnya.
“Pak, bapak”.
Pak Ahmad masih diam, akhirnya ibu menepuk bahu bapak dengan perlahan.
“Pak, bapak ada tamu”
Pak Ahmad menoleh kearah istrinya, istrinya tersenyum sanbil menunjuk kearah luar pagar. Tanpak disana seorang laki-laki mudah kira-kira berusia sekitar 25 tahunan.
“Tuh… ada tamu pak”.
“Sudah lama apa bu tamunya berdiri disitu?”
Pak Ahmad yang baru saja menyadari ada tamu, menafsirkan bahwa tamu tersebut sudah lama berdiri disitu karena dia tidak mengetahui dari tadi bahwa ada tamu, malahan yang mengetahaui hal tersebut istrinya yang berada di dapur. Jadi tidak mungkin istrinya tahu duluan, seharusnya dia yang tahu duluan kalau ada tamu, tapi berhubung dia sibuk dengan pikirannya sendiri akhirnya dia tidak mendengar kalau sudah dari tadi tamu berdiri disitu.
“Sudah lumayan lama, pak”.
Istrinya pun menuju ke arah pintu pagar dan membukakan pintu untuk tamu tersebut.
“Masuk dik, maaf sudah lama berdiri di situ, maklum bapak lagi melamun, banyak pikiran”
Tamu tersebut pun masuk ke halaman rumah dan menyalami tangan ibu. ibu pun membalasnya dengan senyuman. Laki-laki tersebut berjalan menuju Pak Ahmad sementara istrinya Pak Ahmad menutup kembali pintu pagar rumah.
“Maaf ya…”
“Oh, tidak apa-apa, pak”
“Silahkan masuk, kalau begitu. Bu bikinin teh untuk tamu kita!”.
“Iya, pak”
Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah, Pak Ahmad mempersilahkan tamunya untuk duduk, sementara istrinya pergi ke dapur untuk mebuatkan teh untuk tamunya.
“Ada apa ya nak? ada keperluan apa? Apa yang bisa saya bantu?”.
“Begini pak, perkenalkan nama saya Candra, saya datang kemari ingin membicarakan masalah kecelakaan minggu lalu. Kecelakaan yang menabrak mobil mewah”.
Pak Ahmad tambah bingung, dia berkata dalam hatinya “apakah orang ini mau minta ganti rugi atas kecelakaan itu, tapi orang ini bukan pemilik mobil mewah tersebut atau selain mobil mewah yang ditabrak Tole ada juga yang Tole tabrak selain mobil terebut”. Pikiran Pak Ahmad bertambah menjadi runyam.
“Ekhem… pak, bapak”
Tamu itu menyadarkan Pak Ahmad dalam lamunannya. Pak Ahmad pun tergagap kaget.
“Eh.. eee, iya ya. Lalu bagaimana nak Candra, apakah nak Candra datang kemari juga mau minta ganti rugi atas kejadian itu?”.
Mendengar perkataan Pak Ahmad, Candra malah tersenyum. Hal itu malah membuat Pak Ahmad tambah bingung.
“Saya masih belum paham maksud nak Candra? Ehhh kalau boleh tahu maksud nak Candra itu apa?”.
“Begini, maksud saya datang ke mari sebetulnya mau menemui Tole anak bapak, karena dia telah menyelamatkan nyawa saya”.
“Maksud, nak Candra???”
“Begini, sebetulnya kecelakaan itu diakibatkan oleh saya sendiri”.
“Maksudnya apa ini? Kenapa saya tambah tidak mengerti?”.
“Ya, sebetulnya kecelakaan itu diakibatkan oleh saya sendiri, sebetulnya saya ini baru belajar menyetir mobil dan mobil yang saya kendarai mobilnya agak sedikit ada ganggun. Jadi saya belum pandai dalam mengendarai mobil. Ketika mobil yang saya kendarai berlalu di jalan raya. Remnya tidak berfungsi sehingga mobil itu idak dapat berhenti. Karena gugup dan takut saat mengendarai mobil tesebut, akhirnya saya tidak bisa mengendalikan mobil tersebut dan pada saat itu saya telah berada di jalur yang salah. Saya berusaha menghentikan mobil tersebut tapi tetap tidak bisa. Pas di persimpangan jalan Tole datang dari arah tersebut dan langsung kaget ketika melihat mobil saya yang seharusnya tidak berada di jalur itu, karena tidak mau menabrak mobil saya akhirnya tole menyimpangkan motornya secara mendadak dan akhirnya dia menabrak mobil mewah yang sedang terparikir, sedangkan mobil saya akhirnya menabrak pohon yang tidak jauh dari tempat kejadian itu, tapi untunglah saya tidak apa-apa hanya mobil saya saja yang lecet-lecet. Jadi maksud kedatangan saya kemari, saya mau mengucapkan terimakasih kepada Tole sekaligus minta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga bapak dan saya akan mengganti rugi atas biaya yang bapak keluarkan gara-gara kejadian ini.
“Oh walah… begitu ceritanya. Ya, telah kami maafkan”.
“Oh, iya Tolenya mana pak?”
“Oh, Tolenya lagi main sama teman-temanya. Ya nanti saya sampaikan sama Tole”.
“Oh, iya tolong ya pak. Terimakasih sebelumnya, ini pak uangnya silahkan bapak hitung uangnya. Mungkin uangnya kurang silahkan bapak katakan jangn sungkan-sungkan. Ya, karena saya sangat merasa bersalah sekali atas kejadian ini”.
Candra menyerahkan sebuah amplop yang berisi uang kepada Pak Ahmad, Pak Ahmad pun menerimanya dengan senang hati. Kini wajah suram dan kusam tidak terlihat lagi di wajah Pak Ahmad, sekarang tampak wajah bahagia dan senyum ceria menghiasi wajah Pak Ahmad.
“Saya atas nama keluarga saya, mengucapkan banyak terimakasih kepada nak Candra karena nak Candra telah membebaskan keluarga ini dari krisis hidup”
Mendengar perkataan Pak Ahmad, Candra sedikit agak bingung karena tidak mengerti maksud perkataan Pak Ahmad tersebut, tapi masih Candra membalasnya dengan senyuman.
“Kalau begitu, saya mohon pamit dulu ya… pak karena hari sudah sore sekali”
“Oh tidak minum dulu, tadi ibu sudah membuat minuman tapi, kok lama sekali ya bikinnya?”.
“Oh, tidak usah pak, lain kali saja minum tehnya. Besok-besok Insya Allah saya berkunjung kemabali kesni”.
“Oh bener ya nak Candra, jangan tidak loh!”.
“Insya Allah, mari Pak saya pamit dulu, sampaikan permintaan maaf saya kepada ibu karena pulang tidak pamit lagi sama beliau dan tidak lupa salam buat Tole ya pak”.
“Iya, nanti disampaikan. Hati-hati di Jalan ya… membawa mobil apa???”
“Hehehe… tidak pak, saya membawa motor. Mari pak saya pamit dulu”.
“Iya, ya hati-hati di jalan ya…”
“Iya, pak terimakasih”.
Candra menyalami Pak Ahmad untuk berpamitan pulang, Pak Ahmad pun mengantar tamunya itu sampai ke luar pagar rumah hingga tamunya itu hilang dari pandangannya. Setelah itu Pak Ahmad masuk kembali ke dalam rumah, tampak di ruang tamu istrinya telah menunggunya di sana.
“Tamunya sudah pulang ya pak?”.
“Iya bu, barusan saja. Ibunya telat bikinin teh, tamunya keburu pulang bu-bu”.
“Walah tehnya bagaimana pak?”.
“Iya, kita yang minum toh bu, lagian sudah lama toh bu kita tidak minum teh bareng”.
Pak Ahmad menggoda istrinya dengan memberi senyum yang menggoda, istrinya pun membalas senyuman itu.
“Pak, ibu lama bikinin tehnya karena tadi si Ajeng telepon, mengabarkan kalau dia masuk ke Universitas Negeri dan mendapat beasiswa dari universitas itu karena nilai Ajeng bagus-bagus, dan ternyata pak ya, Ajeng disuruh ke sekolah hari ini, itu bukan karena nilainya hancur tapi nilainya bagus-bagus pak…”.
“Anak siapa dulu, anak bapak”.
“Eh eh eh… anak ibu juga, masak hanya anak bapak seorang”.
“Iya, anak kita berdua” sambil tertawa.
“Oh iya, pak maksud kedatangan tamu tadi apa ya?”.
Pak Ahmad tersenyum dan menceritakan kembali kepada istrinya mengenai tamu tadi, dengan hati yang senang istrinya mendengarkan cerita Pak Ahmad. Ketika sedang asyik-asyiknya bercerita anak-anak pulang dan mereka pun ikut bergabung dalam kebahagiaan orang tuanya.
***
My Great Web page