Orang hebat tidak tebar pesona tapi tebar manfaat...

Minggu, 22 Juli 2012

Cerpen


Masalah Kehidupan
Oleh Karlina


Sudah hampir empat jam Pak Ahmad duduk di atas ranjangnya berdiam diri seperti sedang memikirkan sesuatu, suara istrinya yang sejak dari tadi memanggilnya tak dihiraukan, dia terhanyut dalam pikirannya sendiri. Ada sesuatu beban yang tampak jelas dari wajah Pak Ahmad, stres dan prustasi seakan siap hinggap ke pikiran Pak Ahmad, sedangkan pikiran jahat telah menari-nari senang dihadapan Pak Ahmad, tapi pikiran baik datang seakan dia tidak terima melihat kejadian ini, melihat pikiran jahat yang begitu sukacitanya terhadap peristiwa ini, akhirnya pikiran baik dan jahat berperang begitu hebatnya, tak tahu siapa yang akan memenangkan perang ini. Akhirnya, Pak Ahmad berdiri dan duduk kembali. Dia kembali berkonsentrasi, dia tidak mau menjadi stres akibat memikirkan masalah ini.
“Walah, bisa eddan aku kalau kayak gini. Harga-harga semakin naik, si bungsu Tole sudah lulus SMP dan mau melanjutkan ke SMA, baju seragam dan alat-alat sekolah belum beli. Sedangkan, mbaknya si Ajeng juga baru lulus SMA dan mau melanjutkan ke Universitas yang biayanya wuwalah mantap mahalnya. Duh… Gusti Allah tolonglah hambamu ini”.
Dari balik pintu kamar ternyata istri Pak Ahmad memperhatikan dan mendengar keluh kesah suaminya itu, tanpa disadari Pak Ahmad istrinya masuk ke kamar.
“Ada apa toh pak? Ibu perhatikan dari tadi bapak seperti orang eddan saja, bicara sendirian. Ada masalah apa? Mbok, cerita sama ibu!”.
Pak Ahmad kaget mendengar suara istrinya dan dia langsung menoleh ke arah istrinya itu.
“Eh ibu, kaget bapak bu, ini loh bu, harga barang-barang kebutuhan rumah tangga, semakin naik saja. Padahal, pemerintah baru berencana bahwa gaji Pegawai Negeri Sipil akan naik. Tapi kok, harga-harga yang duluan naik”.
“Wuwalah masalah itu toh, yang membikin suami ibu gila hari ini! Mbok jangan terlalu dipikirkan pak! Memang begitulah Negara kita”.
“Begini toh bu, bapak itu memikirkan nasib anak-anak kita. Tole tahun ini masuk ke SMA sedangkan mbaknya, si Ajeng mau masuk ke Universitas. Uang darimana bu? Mana hutang kita ke Bank kemaren saja belum lunas untuk biaya ganti rugi karena Tole kebut-kebutan di jalan raya akibatnya menabrak mobil mewah orang yang sedang terparkir. Itulah bagaimana ini, apa bapak mesti korupsi atau mencuri biar dapat uang?”.
Astafirullahhalazim pak, sabar pak, ngucap… apa yang telah bapak katakan! Allah tidak tidur…”.
“Jadi, gimana toh buk???”.
“Jual saja mas kawin kita”.
“Jangan toh buk, mas kawin itu banyak kenang-kenangannya”.
“ya, mau gimana lagi? Nanti kalau sudah ada uang bapak ganti lagi”.
“Ya, kalau ada uang untuk menggantinya, kalau tidak ada gimana? Ayo…?”.
“Ya, sudah kalau tidak ada, tidak bisa diganti, ya tidak apa-apa, lagian itu kan untuk kepentingan anak-anak kita juga, kalau ada diganti, kalau tidak ada ya, sudah tidak usah diganti. Ikhlas ibu, pak…”
“Sebaiknya kita cari jalan yang lain dulu bu, siapa tahu ada jalan keluarnya, kalau harus menjualkan mas kawin kita, bapak yang malahan tidak ikhlas”.
“Ya, terserah bapaklah, bagaimana bagusnya, jangan saja bapak mempunyai pikiran yang jahat seperti pikiran bapak tadi, mau mencuri atau korupsilah. Nah, kalau yang satu ini ibu sangat-sangat tidak ikhlas dunia dan akherat”.
“Ya, Insya Allah tidaklah bu”.
“Ya, sudah sekarang bapak makan dulu, dari pagi tadi bapak belum makan apa-apa. Nanti bapak sakit loh”.
“Oh iya bu, bapak lupa karena terlalu banyak pikiran. Ayo bu, kita makan dulu, eh eh.. mana si Ajeng dan Tole ya bu? Kok dari tadi bapak tidak melihat mereka ya…”.
“Oh…kalau si Tole main pak sama teman-temannya biasa anak laki-laki”.
“Hmmm… Tole-Tole jangan saja kamu membuat ulah lagi! Lalu Ajeng, kemana bu?”.
“Semoga tidak lagi pak, Tole membuat ulah. Kalau si Ajeng sudah dari tadi pagi pergi katanya si mau ke sekolah”.
“Hari minggu kok sekolah?”.
“Iya, katanya sih disuruh ke sekolah oleh gurunya”.
“Lha, perasaan tadi bapak mendengar Shinta kemari ya bu? Apa dia tidak sekolah? Biasanya Ajeng dan Shinta selalu pergi bareng ke sekolah”.
“Iya, pak memang tadi Shinta kemari, mengantarkan sayur yang ibu pesan ke mamanya. Kata Ajeng si memang tidak seluruh siswa yang disuruh datang ke sekolah, hanya beberapa siswa saja, tidak tahu ada apa ya pak kok, Ajeng disuruh ke Sekolah ya? Padahalkan pengumuman kelulusan sudah diumumkan tiga hari yang lalu, jangan-jangan nilai Ajeng hancur pak!”.
“Eh eh eh… jangan berpikiran yang tidak-tidak bu!”
“Ya, gimana pak. Kok hanya beberapa siswa saja yang disuruh ke sekolah, kalau tidak ada masalah atau nilai anak kita itu hancur lantas apa?”.
“Ya, berpikirlah positif bu! Jangan berpikiran yang bukan-bukan, tidak bagus bu!”.
“Iya pak semoga tidak terjadi hal-hal yang kita takutkan ya, pak”.
“Iya, amien bu… begitu dong jangan berpikiran hal yang tidak-tidak. Ngomong-ngomong makanannya sudah siap belum? Lapar bapak bu”.
“Oh, iya pak lupa ibu pak, kita kan mau makan tadi, ayo pak kita makan”.  
Keduanya pun pergi menuju meja makan.
            Sore harinya, seperti biasa Pak Ahmad menyiram tanaman yang berada di halaman rumahnya. Hal ini rutin dilakukannya setiap sorenya, menata taman merupakan hobi Pak Ahmad tak heran jika tanaman di perkarangan rumahnya sangat tertata rapi. Sambil menyemprot air ke tanaman, Pak Ahmad masih memikirkan masalahnya, sehingga Pak Ahmad tidak menyadari dan tidak mendengarkan suara tamu yang mengucap salam dari luar pagar rumah.
Assalamualaikum, Assalamualaikum….pak, pak Assalamualaikum”.
Suara tamu tesebut tidak didengar oleh Pak Ahmad, dia masih sibuk menyiram tanaman.
Assalamualaikum, Assalamualaikum, Assalamualaikum…. pak, pak Assalamualaikum”.
Tamu tersebut akhirnya menaikkan volume suaranya, berharap Pak Ahmad mendengarkan. Tapi, masih saja suara tamu itu tidak didengarkan oleh Pak Ahmad. Tamu tersebut pun mulai bingung, mencari ide bagaimana suaranya bisa didengar oleh Pak Ahmad. Akhirnya tamu tersebut mengulang kembali mengucap salam dengan volume suara yang tinggi.
Assalamualaikum, Assalamualaikum, Assalamualaikum…. pak, pak Assalamualaikum”.
Tapi, yang mendengarkan salam tersebut bukannya Pak Ahmad, melainkan istrinya yang sedang memasak di dapur karena mendengar salam tersebut istrinya pun segera menuju ke halaman rumah.
Walaikumsalam Warahmatullah Hiwabarakatu…”.
Istrinya Pun menghampiri Pak Ahmad yang dari tadi masih sibuk menyiram tanaman yang tanpa sadar bahwa ada tamu yang sudah dari tadi berdiri di depan pintu pagar rumahnya.
“Pak, bapak”.
Pak Ahmad masih diam, akhirnya ibu menepuk bahu bapak dengan perlahan.
“Pak, bapak ada tamu”
Pak Ahmad menoleh kearah istrinya, istrinya tersenyum sanbil menunjuk kearah luar pagar. Tanpak disana seorang laki-laki mudah kira-kira berusia sekitar 25 tahunan.
“Tuh… ada tamu pak”.
“Sudah lama apa bu tamunya berdiri disitu?”
Pak Ahmad yang baru saja menyadari ada tamu, menafsirkan bahwa tamu tersebut sudah lama berdiri disitu karena dia tidak mengetahui dari tadi bahwa ada tamu, malahan yang mengetahaui hal tersebut istrinya yang berada di dapur. Jadi tidak mungkin istrinya tahu duluan, seharusnya dia yang tahu duluan kalau ada tamu, tapi berhubung dia sibuk dengan pikirannya sendiri akhirnya dia tidak mendengar kalau sudah dari tadi tamu berdiri disitu.
“Sudah lumayan lama, pak”.
Istrinya pun menuju ke arah pintu pagar dan membukakan pintu untuk tamu tersebut.
“Masuk dik, maaf sudah lama berdiri di situ, maklum bapak lagi melamun, banyak pikiran”
Tamu tersebut pun masuk ke halaman rumah dan menyalami tangan ibu. ibu pun membalasnya dengan senyuman. Laki-laki tersebut berjalan menuju Pak Ahmad sementara istrinya Pak Ahmad menutup kembali pintu pagar rumah.
“Maaf ya…”
“Oh, tidak apa-apa, pak”
“Silahkan masuk, kalau begitu. Bu bikinin teh untuk tamu kita!”.
“Iya, pak”
Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah, Pak Ahmad mempersilahkan tamunya untuk duduk, sementara istrinya pergi ke dapur untuk mebuatkan teh untuk tamunya.
“Ada apa ya nak? ada keperluan apa? Apa yang bisa saya bantu?”.
“Begini pak, perkenalkan nama saya Candra, saya datang kemari ingin membicarakan masalah kecelakaan minggu lalu. Kecelakaan yang menabrak mobil mewah”.
Pak Ahmad tambah bingung, dia berkata dalam hatinya “apakah orang ini mau minta ganti rugi atas kecelakaan itu, tapi orang ini bukan pemilik mobil mewah tersebut atau selain mobil mewah yang ditabrak Tole ada juga yang Tole tabrak selain mobil terebut”. Pikiran Pak Ahmad bertambah menjadi runyam.
“Ekhem… pak, bapak”
Tamu itu menyadarkan Pak Ahmad dalam lamunannya. Pak Ahmad pun tergagap kaget.
“Eh.. eee, iya ya. Lalu bagaimana nak Candra, apakah nak Candra datang kemari juga mau minta ganti rugi atas kejadian itu?”.
Mendengar perkataan Pak Ahmad, Candra malah tersenyum. Hal itu malah membuat Pak Ahmad tambah bingung.
“Saya masih belum paham maksud nak Candra? Ehhh kalau boleh tahu maksud nak Candra itu apa?”.
“Begini, maksud saya datang ke mari sebetulnya mau menemui Tole anak bapak, karena dia telah menyelamatkan nyawa saya”.
“Maksud, nak Candra???”
“Begini, sebetulnya kecelakaan itu diakibatkan oleh saya sendiri”.
“Maksudnya apa ini? Kenapa saya tambah tidak mengerti?”.
“Ya, sebetulnya kecelakaan itu diakibatkan oleh saya sendiri, sebetulnya saya ini baru belajar menyetir mobil dan mobil yang saya kendarai mobilnya agak sedikit ada ganggun. Jadi saya belum pandai dalam mengendarai mobil. Ketika mobil yang saya kendarai berlalu di jalan raya. Remnya tidak berfungsi sehingga mobil itu idak dapat berhenti. Karena gugup dan takut saat mengendarai mobil tesebut, akhirnya saya tidak bisa mengendalikan mobil tersebut dan pada saat itu saya telah berada di jalur yang salah. Saya berusaha menghentikan mobil tersebut tapi tetap tidak bisa. Pas di persimpangan jalan Tole datang dari arah tersebut dan langsung kaget ketika melihat mobil saya yang seharusnya tidak berada di jalur itu, karena tidak mau menabrak mobil saya akhirnya tole menyimpangkan motornya secara mendadak dan akhirnya dia menabrak mobil mewah yang sedang terparikir, sedangkan mobil saya akhirnya menabrak pohon yang tidak jauh dari tempat kejadian itu, tapi untunglah saya tidak apa-apa hanya mobil saya saja yang lecet-lecet. Jadi maksud kedatangan saya kemari, saya mau mengucapkan terimakasih kepada Tole sekaligus minta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga bapak dan saya akan mengganti rugi atas biaya yang bapak keluarkan gara-gara kejadian ini.
“Oh walah… begitu ceritanya. Ya, telah kami maafkan”.
“Oh, iya Tolenya mana pak?”
“Oh, Tolenya lagi main sama teman-temanya. Ya nanti saya sampaikan sama Tole”.
“Oh, iya tolong ya pak. Terimakasih sebelumnya, ini pak uangnya silahkan bapak hitung uangnya. Mungkin uangnya kurang silahkan bapak katakan jangn sungkan-sungkan. Ya, karena saya sangat merasa bersalah sekali atas kejadian ini”.
Candra menyerahkan sebuah amplop yang berisi uang kepada Pak Ahmad, Pak Ahmad pun menerimanya dengan senang hati. Kini wajah suram dan kusam tidak terlihat lagi di wajah Pak Ahmad, sekarang tampak wajah bahagia dan senyum ceria menghiasi wajah Pak Ahmad.
“Saya atas nama keluarga saya, mengucapkan banyak terimakasih kepada nak Candra karena nak Candra telah membebaskan keluarga ini dari krisis hidup”
Mendengar perkataan Pak Ahmad, Candra sedikit agak bingung karena tidak mengerti maksud perkataan Pak Ahmad tersebut, tapi masih Candra membalasnya dengan senyuman.
“Kalau begitu, saya mohon pamit dulu ya… pak karena hari sudah sore sekali”
“Oh tidak minum dulu, tadi ibu sudah membuat minuman tapi, kok lama sekali ya bikinnya?”.
“Oh, tidak usah pak, lain kali saja minum tehnya. Besok-besok Insya Allah saya berkunjung kemabali kesni”.
“Oh bener ya nak Candra, jangan tidak loh!”.
“Insya Allah, mari Pak saya pamit dulu, sampaikan permintaan maaf saya kepada ibu karena pulang tidak pamit lagi sama beliau dan tidak lupa salam buat Tole ya pak”.
“Iya, nanti disampaikan. Hati-hati di Jalan ya… membawa mobil apa???”
“Hehehe… tidak pak, saya membawa motor. Mari pak saya pamit dulu”.
“Iya, ya hati-hati di jalan ya…”
“Iya, pak terimakasih”.
Candra menyalami Pak Ahmad untuk berpamitan pulang, Pak Ahmad pun mengantar tamunya itu sampai ke luar pagar rumah hingga tamunya itu hilang dari pandangannya. Setelah itu Pak Ahmad masuk kembali ke dalam rumah, tampak di ruang tamu istrinya telah menunggunya di sana.
“Tamunya sudah pulang ya pak?”.
“Iya bu, barusan saja. Ibunya telat bikinin teh, tamunya keburu pulang bu-bu”.
“Walah tehnya bagaimana pak?”.
“Iya, kita yang minum toh bu, lagian sudah lama toh bu kita tidak minum teh bareng”.
Pak Ahmad menggoda istrinya dengan memberi senyum yang menggoda, istrinya pun membalas senyuman itu.
“Pak, ibu lama bikinin tehnya karena tadi si Ajeng telepon, mengabarkan kalau dia masuk ke Universitas Negeri dan mendapat beasiswa dari universitas itu karena nilai Ajeng bagus-bagus, dan ternyata pak ya, Ajeng disuruh ke sekolah hari ini, itu bukan karena nilainya hancur tapi nilainya bagus-bagus pak…”.
“Anak siapa dulu, anak bapak”.
“Eh eh eh… anak ibu juga, masak hanya anak bapak seorang”.
“Iya, anak kita berdua” sambil tertawa.
“Oh iya, pak maksud kedatangan tamu tadi apa ya?”.
Pak Ahmad tersenyum dan menceritakan kembali kepada istrinya mengenai tamu tadi, dengan hati yang senang istrinya mendengarkan cerita Pak Ahmad. Ketika sedang asyik-asyiknya bercerita anak-anak pulang dan mereka pun ikut bergabung dalam kebahagiaan orang tuanya.
***

2 komentar:

Terima kasih atas komentarnya :)

My Great Web page